DLH Jateng: Banyak TPA sudah melebihi kapasitas

Menurut Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan (DLHK) Jawa Tengah, kapasitas banyak tempat pembuangan akhir (TPA) di wilayah tersebut sudah terlampaui.
Menurut Kepala DLHK Jateng, Widi Hartanto, terdapat 37 TPA yang sudah melampaui kapasitasnya di daerah Jawa Tengah, khususnya di kota-kota seperti Semarang, Tegal, dan Pekalongan. Hal ini menimbulkan masalah lingkungan yang serius dan membutuhkan tindakan yang cepat untuk mengatasinya.
Dia mengklaim bahwa pengelolaan sampah yang tidak efektif adalah penyebab utama penumpukan sampah yang cepat, yang akhirnya melebihi kapasitas lingkungan.
Sebagai solusi untuk masalah sampah, pemerintah Jawa Tengah mendorong kabupaten/kota untuk meninggalkan sistem “open dumping” dan beralih ke metode “control landfill” atau “sanitary landfill”. Hal ini diharapkan dapat mengurangi dampak negatif lingkungan dan menciptakan tempat pembuangan yang lebih terkendali.
Dalam hal pembuangan sampah, “open dumping” atau metode terbuka tanpa penanganan khusus dianggap tidak efektif dan kurang efisien. Hal ini ditegaskan oleh ahli tersebut saat menjelaskan bahwa metode ini tidak memberikan hasil yang optimal dalam mengatasi masalah sampah.
Dengan harapan dapat mengurangi kebakaran, penyakit, bau tak sedap, dan polusi udara yang dipicu oleh gas metana, kami mendorong pengelolaan larva lalat Black Soldier. Hasilnya dapat digunakan sebagai pupuk organik. Sisa-sisa non-organik akan diolah menjadi bahan bakar terbarukan (Refuse Derived Fuel).
Ada beberapa contoh yang bagus dalam pengelolaan sampah, seperti di tempat pengelolaan sampah terpadu (TPST) di Kabupaten Banyumas. Dia menjelaskan bahwa saat ini TPST tersebut sudah berjalan dengan baik.
“Kabupaten Banyumas telah memberikan contoh baik sebagai kabupaten yang tidak memiliki TPA karena semua penanganan sampah telah dipindahkan ke tingkat kecamatan. Selain itu, ada juga TPST yang dikelola secara swadaya oleh masyarakat di tingkat kelurahan,” jelasnya.
Sampah yang dihasilkan oleh masyarakat dikumpulkan di tingkat RT dan kemudian dibawa ke Tempat Pengolahan Sampah Terpadu (TPST) untuk bisa dikelola. Dengan begitu, minimalisir risiko residu yang ditimbulkan dari sampah dapat diselesaikan.
Data dan sampah organik yang dikumpulkan dari RT kemudian dibawa ke TPST untuk diproses lebih lanjut. Sampah organik diambil untuk membuat maggot dan kompos, ada juga yang dimanfaatkan sebagai RDF untuk pabrik semen, sementara sisanya dibakar di insinerator. Dengan proses ini, hanya sedikit residu yang tersisa.
Ia juga mendorong adanya peningkatan anggaran di kabupaten/kota untuk mengelola sampah dengan lebih efektif dan efisien.
Dia mengakui bahwa manajemen sampah yang efektif memerlukan biaya, tetapi manfaat dan hasilnya jauh lebih besar dari segi ekonomis maupun lingkungan.